Friday, December 22, 2006

Papa, mama rela Gadia pergi

Habis menyusu dengan terengah-engah itu, di tengah-tengah Gadia berhenti. Dia akhirnya menolak untuk menyusu. Mama sudah minta yangti untuk panggil dokter. Gadia menangis, menjerit, heart rate sampai 190 (bpm). Sudah ada alarm dan di ECG terlihat warning warna merah „V Tach“. Mama tau dia merasakan kesakitan yang amat sangat. Dokter tak kunjung datang. Mama intip keluar, dokter ada di luar tapi bermuka takut dan gugup. Biarlah, batin mama, mama sudah ikhlas ini. Mama nggak akan salahkan dokter kalau dia terlambat datang. Suster yang masuk malah nyiapin susu formula untuk dimasukkan lewat selang (sonde). Dia malah tenang aja waktu mama minta dia panggilin dokter. Salah seorang suster bilang, mungkin Gadia pengen digendong. Mama turun dari tempat tidur dan meletakkan kepalanya di lengan kiri mama, lalu mama ayun seperti mau menidurkan dia. Gadia sempat terdiam. Tapi habis itu dia meronta-ronta lagi. Papa dan yangti masuk. Mama mengumpulkan seluruh kekuatan mama dan akhirnya memberanikan diri untuk bilang dengan lantang, “Papa, insya Allah mama rela, Pa, kalau Gadia pergi. Dia bukan milik kita, Pa. Dia milik Allah. Biarkan dia pergi, ya, Pa. Mama sudah rela.” Papa udah nangis. Tiba-tiba mama lihat mata Gadia terpejam, mulutnya mengerang seperti menahan sakit, bibirnya dalam waktu singkat membiru, dan badannya mengkaku dalam gendongan mama. Mama berteriak, “Innalillahi wainna ilaihi raji’un.” Mama sambung, “Allahu Akbar!”. Mama gendong terus Gadia. Papa dan yangti keluar, dr. David, dokter jaga hari itu masuk. Dia bilang, “Taro, Bu!”. Mama jawab, “Saya mau gendong.” Dia ulangi lagi, “Bu, taro, Bu!”. Mama ngotot, “Saya mau gendong!” Tiba-tiba mama blank dan malah bingung apa yang harus dilakukan. Keinginan mama adalah Gadia meninggal dalam pelukan mama. Tapi kalau mama letakkan Gadia di tempat tidur, dokter masih bisa berupaya melakukan penyelamatan. Dan bukankah kita harus berupaya terus secara maksimal dan menyerahkan hasilnya pada Allah? Mama akhirnya ngalah dan melepaskan Gadia dari gendongan mama. Mama intip ke ECG, heart rate Gadia yang tadinya berkisar di 170-180-an bahkan bisa 190, sudah mulai turun drastis dan terakhir mama lihat 75. Mama tau angka itu akan terus turun hingga titik nol, titik dimana jantungnya akan berhenti berdetak. Mama ke luar ruangan isolasi sambil berteriak, “Innalillahi wainna ilaihi raji’un.” Mama ketemu papa di depan pintu, kita berpelukan dan menangis sambil berteriak. Papa teriak mengucapkan kata-kata seperti, “Dia nungguin ulang tahun papa, ya, Ma.” Kita berlari ke luar ruangan IW sambil berpelukan dan masih histeris. Orang-orang dari lantai 7 sampai ada yang naik ke atas. Opung Gadia tahu belakangan dan langsung menjerit histeris, terkulai di lantai sambil ditenangkan Ato Gadia. Mama langsung ambil air wudhu dan sholat Ashar di depan locker.

19 Desember 2006

No comments: