Mama bangun jam 2 pagi, sholat malam, lalu segera menuju IW anak lantai 8. Opung Gadia tertidur di kursi di dalam ruang isolasi. Mama lihat heart rate-nya stabil di angka 160. Oksigen jelas 100 karena pakai bantuan. Tapi tensinya tanda tanya. Biasanya sih karena lepas. Dua suster masuk, mengukur tensi. Tapi tidak ada angka yang muncul. Suster saling berpandangan. Ah, mama sudah tahu. Mama cium pipi Gadia. Sudah kaku dan dingin. Matanya sudah diplester. Sebentar-sebentar keluar air. Dari hidung juga sudah sering keluar air, dan suster melapnya dengan tisu. Mama ngaji dari depan pintu. Surat Ar-Rahman dan As-Shaffaat. Diiringi bunyi alarm dari salah satu alat, yang mama tau kalau mama dengar itu lagi nanti pasti akan jadi mimpi buruk. Bunyinya amat menyayat. Opung sebentar-sebentar mematikan alarm dari alat itu. Alat-alat lain juga mengeluarkan bunyi-bunyian yang mengegangkan.
Selain dokter David, tiga suster yang membantunya kebetulan adalah suster yang baik hati sama Gadia dan keluarga kita. Suster Nita, pada malam pertama (Jumat malam) sempat dapat senyum manis Gadia karena dia memberi air putih lewat botol. Yang lain adalah suster Ijah dan suster Titin.
Papa tak kunjung datang. Mama sempat menghampiri Gadia, berbisik, “Gadia, mama sudah rela, Nak, Gadia pergi. Nggak apa-apa ya, Nak.“ Saat itu heart rate sudah naik jadi 177. Mama tunggu adzan Subuh dan siap-siap sholat. Begitu adzan Subuh, mama sholat di depan locker. Berdoa mohon kekuatan. Sesudah itu, mukena dan sajadah diambil opung untuk sholat di bawah. Mama tinggal sendiri. Mama kembali sakit perut dan ingin ke WC untuk kedua kalinya. Memang begitu mama kalau stres. Keluar dari WC, mama sudah dengar suara suster-suster saling berteriak. “Infusnya lepas, ya?” Ya, piker mama, mungkin darah sudah beku sehingga jarum infus sudah tidak bisa menancap. Lalu mama dengar suara suster Nita, “SA-SA, ada yang sudah kasih SA belum?” Mama teringat waktu opung mama mau meninggal, dokter memerintahkan suster memberi SA (adrenalin?). Mama sudah tau, mungkin ini saatnya. Mama bergegas menuju ruang isolasi. Mama lihat jam di sana menunjukkan pukul 5 kurang lima (tapi waktu sebenarnya kira2 pukul 5 kurang 15 karena jam di sana kelebihan 10 menit-an). Saat mama lihat layar ECG, detak jantung sudah bergerak menuju angka nol dan akhirnya stabil di angka 0. Mama sudah menangis melihat dari kaca luar. Mama telefon papa untuk segera naik.
20 Desember 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment